Kisah ini memang menggelitik, namun sarat hikmah. Berawal pada puluhan tahun yang lampau, hiduplah Zainuddin yang kelak akan menjadi guru besar dari Kyai Wahid Hasyim (ayahanda Gus Dur), Kyai Wahab Hasbullah ( Tambak Beras), Kyai Umar Mangkuyudan ( Solo) dan sejumlah auliya besar lainnya di tanah Jawa. Dahulu, Zainuddin adalah seorang santri di Pesantren Langitan, dia juga menjadi khadam (pelayan pribadi) Kyai Sholeh. Selain nyantri, tentu tugas utama Zainuddin adalah menggembalakan kuda-kuda milik gurunya yakni Kyai Sholeh. Selama menggembala kuda, Zainuddin tidak pernah sekalipun mendahului langkah-langkah kuda, dia selalu berada di belakangnya. Alasannya, karena dia merasa tidak tawadlu jika sampai berani mendahului langkah kuda milik gurunya itu. Suatu hari, seekor kuda Kyai Sholeh lepas dari kandang. Kuda itu berlari kesana kemari, kemanapun si kuda mau. Zainuddin yang memang sangat patuh dengan tugas yang diberikan gurunya itupun segera berusaha menangkap kuda itu dan membawanya kembali ke kandang. Namun, ketika dia berusaha menangkapnya, selalu saja merasa tidak berani jika melangkahi atau berada di depan kuda yang lepas itu. Zainuddin tidak mau dianggap murid yang berani atau lancang dengan gurunya. Akhirnya, dia berpikir dan berusaha mati-matian untuk menggiring kuda itu dari belakang. Kemanapun kuda itu pergi , dia kuntit terus dengan jerih payahnya agar kuda itu mau berbelok ke arah kandang. Hari pertama, usahanya belum berhasil. Hari kedua, sama juga. Namun , Zainuddin tidak patah semangat, dia merasa berdosa jika tidak menyelesaikan tanggung jawabnya dengan baik. Dan, akhirnya sampailah di hari ketiga. Kuda sang guru akhirnya berhasil masuk ke kandang, dan Zainuddin pun lega. Lama-kelamaan, berkat ketawadluan Zainuddin, akhirnya dia menjadi santri yang memiliki kesabaran yang luar biasa, hingga Allah menakdirkan beliau menjadi Kyai besar di Mojosari, Nganjuk. Kyai Zainuddin memiliki santri yang banyak dan badung-badung ( identiknya sifat anak-anak) dan keras bak seekor kuda. Namun, berkat perilaku kesabaran dan ketawadluaannya yang sudah terasah dari dulu ketika menjadi khadam Kyai Sholeh, santri-santri itupun berhasil dididiknya bahkan menjadi kyai besar di Indonesia, khususnya di tanah Jawa ini. Ada kejadian yang cukup menggelitik dari kisah hidup beliau. Entah benar atau tidak kebenaran kisah ini, tetapi berikut penggalan kisahnya : Ketika Kyai Zainuddin sedang naik oplet (jaman sekarang mungkin metro mini/angkot) tiba-tiba seekor kuda melintas. Lalu , sang Kyai berkata, “ Stop ! stop pak Sopir !”. Sopirpun bertanya keheranan, “Lho, kok berhenti disini pak Kyai, bukankah kita belum sampai tujuan pak Kyai ? “. Lalu sang Kyai turun dari oplet, dan berdiri di pinggir jalan dan memberi tanda penghormatan kepada kuda yang mau melintas itu. Ketika kuda sudah berlalu, sang sopir heran. Kok bisa, seorang Kyai terkenal menghormat kepada seekor kuda ? Karena saking herannya, akhirnya sopirpun bertanya, “ Apa alasan pak Kyai menghormati kuda ?”. Dengan sabar, Kyai Zainuddin menjawab, “ Sepertinya warna dan rupa kuda yang melintas tadi mirip sekali dengan kuda Kyai Sholeh, guru saya dari pesantren Langitan. Jangan-jangan kuda itu masih satu keturunan dengan kudanya guru saya.” Wallahu alam bishawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar